KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan pertolonganNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai
tugas dari mata kuliah Pengantar Ilmu Hadits dengan baik.
Makalah yang kami beri judul “ Hadits Berdasrkan Kuantitasnya
” bertujuan agar pembaca terutama
mahasiswa mengetahui pentingnya ilmu hadits dalam kehidupan sehari-hari.
Terimakasih kami ucapkan kepada K.H. Aufal Marom Yang telah menjadi
pembimbing kami, sehingga terselesaikan makalah ini. Tentunya dalam makalah ini
banyak terdapat kekurangan dan kesalahan kami mengharap kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar kami selalu bisa menjadi yang lebih baik dalam menyelesaikan tugas-tugas yang akan
datang.
Sarang, 27 April 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tinggi rendahnya tingkatan sebuah hadits tergantung dari tiga aspek
yaitu jumlah rawi, kualitas rawi, dan keadaan matan. Ketika terdapat dua hadits
yang dipandang dari segi banyaknya rawi, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang rawi itu lebih tinggi tingkatannya dibandingkan yang diriwyatkan oleh
satu rawi. Hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi maka lebih tinggi dibanding
yang diriwayatkan oleh dua rawi. Begitu pula seterusnya.
Hadits yang diriwyatkan oleh rawi yang memiliki daya ingat yang
tinggi itu lebih tinggi dibandingkan yang lemah. Begitu pula hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih kuat dibandindgkan hadits yang
diriwayatkan oleh mereka yang ahli pendusta.
Oleh karenanya apabila melihat keterangan diatas bahwa hadist itu
terkadang akan dipandang dari segi kualitas nya. Sedangkan ketika dipandang
dari segi tersebut hadits akan terbagi menjadi dua yaitu : hadits maqbul dan
hadits mardud. Maqbul dengan artian hadits
tersebut dapat diterima terdapat dua macam yaitu hadits shahih dan hadits
hasan. Sedangkan mardud dengan arti tidak dapat diterima ialah hadits dloif.
Walaupun terkadang hadits mardud tersebut bisa dipakai dengan berbagai
ketentuan.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Perbedaan
antara hadits shahih, hasan dan dloif?
2.
Kriteria-kriteria
hadits yang dapat dikatakan shahih?
3.
Penyebab
dari hadits dikatakan dloif?
1.3
Tujuan Penulisan
Tahu pentingnya akan ilmu hadist yang telah dipaparkan di minggu
kemarin oleh teman-teman kami. Membuat kami semakin ingin mendalami ilmu
hadits, tentunya keinginan tersebut dapat terwujud apabila kita tahu betul
hadits-hadits tersebut, bagaimana cara membedakannya. Oleh karenanya kami
berharap dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca semua terutama kita
kalangan santri yang berjiwa mahasiswa paham akan hadits-hadist, sehingga
ketika sedang membaca hadits selain mengerti akan apa yang dikehendaki dari
ma’na hadits tersebut juga mengeti apakah hadits tersebut pantas untuk
diamalkan ataupun tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hadist
Shahih
Ø Pengertian hadist shahih
Shahih secara etimologi berarti sah. Sedangkan secara terminologi ada beberapa pendapat di kalangan ahli
hadist antara lain :
·
Menurut ibnu shalah, hadis shahih adalah hadist
yang musnadz, yang sanadnya bersambung, diceritakan oleh orang-orang yang adil
dan dlabit sampai akhir, tidak ada syadz dan tidak berillat.
·
Menurut imam nawawi, hadis shahih adalah
hadist yang sanadnya bersambung, rawi-rawinya adil dan dlabit, tidak syadz dan
tidak berillat.
Ø Syarat-syaratnya
Berdasrkan beberapa definisi muhaditsin tersebut, dapat disimpulkan bahwa
suatu hadist bisa dikategorikan ahli hadist shahih jika telah memenuhi syarat-syarat, diantaranya:
a. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung(ittishal
al-Sanad) adalah sanad yang selamat dari keguguran karena tiap-tiap rawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang
memberinya.
b. Rawi bersifat adil
Devinisi adil kaitanya dengan periwayatan berbeda dengan
adil dalam persaksian. Menurut muhadisin, adil adalah istiqamatu al-din (استقامة الدين)
dan muru’ah (المروءة). Istiqamatu
al-din melaksankan kewajiban-kewajiban dan menjauhi perbuatan-perbuatan
yang haram yang mengakibatkan pelakunya fasiq. Sedangkan muru’ah adalah
melaksankan adab dan akhlak yang terpuji dan meninggalkan perbuatan yang
menyebabkan orang lain mencelanya.
c. Rawi dlabith
Dlabit ada dua amcam yakni dlabith al-shadri dan dhabith
al-kitab. Dlabith al-shadri adalah kuat ingatanya, kuat lebih banyak
dari pada lupanya, dan kebenaranya lebih banyak dari pada kesalahanya. Jika
seseorang memliki ingatan yang kuat, sejak menerima sampai menyampaikan kepada
orang lain, dan ingatanya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saa
dikehendaki, disebut orang yang dlabith al-ashadri. Sedangkan dlabith
al-kitabah adalah orang yang menyampaikan berdasarkan buku catatanya.
d. Tidak syadz
Syadz secara bahasa artinya rusak. Sedangkan menurut istilah
ahli hadist, syadz/syudzudz adalah suatu yang sama mengenai suatu
permasalahan yang bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat dan sulit untuk
dikompromikan antara dua riwayat tersebut.
e. Tidak ber-‘illat
‘illat artinya penyakit, cacat.Illat hadist adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai kesahihan suatu hadist. Misalnya meriwayatkan hadist secara muttasil
terhadap hadist- hadist mursal(yang gugur seorang sahabat yang
meriwayatkanya). Demikian juga, dapat dianggap suatu ‘illat hadist,
yaitu suatu sisipan yang terdapat pada matan hadist.
Ø Klasifikasi
Hadist shahih di bagi menjadi dua bagian
yakni;
a. Shahih li Dzatihi artinya yang shah karena dzatnya, yakni yang shahih
dengan tanpa bantuan keterangan lain. Sedangkan secara istilah, shahih li
dzatihi adalah suatu hadist yang sanadnya sambung dari awal sampai akhir,
diceritakan oleh orang-orang yang adil, dlabith yang sempurna, serta
tidak ada syudzudz, dan ‘illat yang tercela.
b. Shahih li Gharihi adalah yang shahih karena yang lainya, yakni menjadi
shahih karena dikuatkan oleh sanad atau keterangan lain.
2.2. Hadits Hasan
Ø Pengertian Hasan
Hadits
Hasan secara etimologi berarti baik.
Sedangkan secara terminologi adalah hadis yang di riwayatkan oleh rawi yang
adil, kurang dhobit, sanadnya sambung, selamat dari syadz dan illat yang
tercela.
Dari definisi di
atas, yang membedakan antara hadis shohih dan hasan adalah dari segi
kedhobitannya. Hadis shahih mensyaratkan taam al-dlabith (kuat/sempurna
hafalannya), sedangkan hadis hasan khafifal-dhobith(kurang kuat/lemah
hafalannya).
Ø
Klafikasi
Hadis hasan terbagi menjadi dua macam yaitu :
a.
Hasan
li dzatihi (karena dzatnya atau dirinya).
Definisi tentang hadis hasan li dzatihi sebagai mana pengrtian hadis hasan itu
sendiri.
b.
Hasan li ghoirihi (karena yang lainnya) adalah satu hadis yang menjadi hasan karena
dibantu dari jalan lain. Secara istilah hasan li ghoirihi adalah hadis
dhoif apabila sanad-sanadnya banyak yang satu menguatkan yang lain, dan rawinya
tidak pendusta atau di tuduh dusta.
2.3 Hadits Dloif
Ø Pengertian
Secara etimologi Dhaif artinya lemah. Menurut Jalaluddin as-Suyuthi, Hadist Dhaif adalah “hadist yang tidak memenuhi kriteria hadist shahih
dan hasan”. Dengan demikian hadist dhaif merupakan hadist
yang salah syarat atau lebih dari persyaratan-persyaratan hadist shahih atau hadist hasan hasan tidak
terpenuhi. Hadits dloif juga bisa dikatakan
dengan hadits mardud.
Ø Klarifikasi
Para ulama berbeda pendapat dalam membagi
macam-macam hadist dhaif. Sebagian ulama membagi hadist dhaif ke dalam 42 bagian Dan sebagian ulama yang lain membagi menjadi 49. Meski demikian, secara garis besar, pembagi
hadist dhaif dapat dilihat dari dua faktor utama. Pertama, faktor
kesinambungan sanad hadist, kedua, faktor-faktor lain dikesinambungan
luar sanad.
·
Dari sisi kesinambungan sanad pada hadist
dhaif, terbagi dalam lima hadist yakni; hadist mursal, munqhati’,
mu’dhallas, dan mu’allal.
·
Sementara di tinjau dari faktor selain
kesinambungan sanad, hadist dhaif dibagi dalam beberapa bagian yaitu: Hadist mudla’af , Hadist mudltarib, Hadist maqlub, Hadist syadz, Hadist munkar, Hadist matruk.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Apabila melihat dari kualitas hadits
maka hadits dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hadits shahih, hasan dan dloif.
Dua diantaranya dapat diterima dan diamalkan yaitu hadits shahih dan hasan
ataupun dapat diistilahkan dengan hadits maqbul. Sedangkan yang dloif merupakan
kebalikannya atau tidak diterima dan tidak bisa diamalkan. Bisa diamalkan
apabila berupa fadloilul ‘amal akan tetapi dengan adanya beberapa syarat-syarat
yang mendukung.
3.2
Saran
Mencari ilmu memang tidak ada batas,
walaupun ilmu itu tersebut tidak kita ketahui apa gunanya. Ilmu hadits mungkin
salah satu ilmu yang wajib kita pelajari, walaupun dalam mempelajarinya
membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Akan tetapi setidaknya kita tahu akan
dasar-dasar ilmu tersebut. Seperti kita tahu akan bentuk-bentuk hadits yang
begitu banyak dengan mengetahui cirri-ciri hadits tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar