A.
Pendahuluan
Bangsa Arab adalah satu entitas yang berasal dari keturunan
sam, putra tertua Nuh AS. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia. Mereka berdomisili
di sekitar wilayah barat Benua Asia atau yang biasa dikenal dengan Semenanajung
Arabia. Secara geografis, daerah yang menjadi tempat tinggal Bangsa Arab berbatasan
masing-masing ;
·
Sebelah
utara dengan Irak dan Suriah,
·
Sebelah
selatan dengan Samudra Hindia,
·
Sebelah
timur dengan Teluk Persia dan Laut Oman,
·
Sebelah
barat berbatasan langsung dengan Laut Merah.
Semenanajung Arabia sebagian besar terdiri dari gurun
pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir). Sedikit sekali menyisakan
wilayah yang layak ditinggali disekitar pinggirnya, serta daerah tersebut
semuanya dikelilingi oleh laut. Akan tetapi meskipun diapit oleh laut, iklim
disana sangatlah panas dengan suhu udara yang tinggi. Sedangkan orang- orang
berdomisili disana dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang bertempat
di bagian tengah yang berisikan gurun, bukit pasir serta beberapa pegunungan
yang tidak tinggi sehingga mengakibatkan hujan tidak turun, oleh karenanya
mereka berpindah-pindah (nomaden) ketempat dimana terdapat curah hujan
yang baik, agar bisa menghidupi kehidupan mereka dan ternaknya. Dengan tipologi
seperti ini orang arab tidak bisa mengembangkan kebudayaannya. Berbeda dengan mereka
yang berdomisili di bagian pinggiran. Bagian ini merupakan bagian maritime
karena itu penduduknya tidak nomaden, sehingga mereka bisa mengembangkan
kebudanyaan melebihi masyarakat badui yang nomaden. Misalnya mereka
dapat membangun kota dan kerajaan. Kerajaan yang besar diantaranya berada di Yaman
dan Hijaz[1]. Selaian keterangan diatas bahwa Jazirah arab dengan melihat daerahnya dapat terbagi
menjadi lima, yaitu:
- Hijaz, kotanya adalah Makkah, Madinah dan Thaif
- Yaman, terletak di bagian selatan; diantaranya adalah San’a
yang merupakan ibu kota Yaman zaman dahulu.
- Najed, terletak di bagian tengah Jazirah Arab
- Tihamah, terletak antara Hijaz dan Yaman
- Yamamah, terletak antara Yaman dan Najed
Di wilayah Hijaz
inilah Islam dilahirkan. Tumbuhnya Islam di Hijaz ini berbeda dengan negara lainnya
di Semenaanjung Arabia, dengan artian bahwa di Hijaz dapat mempertahankan kemerdekaannya,
tidak dijajah dan diduduki atau dipengaruhi oleh negara lainnya.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor:
·
Secara
ekonomi, negara itu tergolong miskin, sehingga tidak adanya daya tarik bagi negara-negara
lain untuk menjajahnya.
·
Sejak
Ibrohim AS, masyarakat sepakat untuk menjaga dan memeliharanya dari ancaman
luar
Melihat bahwa Hijaz
merupakan daerah yang sangat berpengaruh terhadap tumbuhbuhnya Islam,
memberikan kami berkesimpulan bahwa hadirnya agen perubahanlah yang menjadi faktor
utama, yang tak lain lagi adalah Muhammad SAW. Oleh sebab beliau lahir di Hijaz
tepatnya di kota Mekkah. Berbicara tentang mekkah ternyata penyebutannya banyak
di tulis dalam Al-Qur’an ;
·
Mekkah[2]
Dalam ayat tersebut makkahu adalah menghancurkan dan mengurangi,
karena nantinya akan mengurangi dosa-dosa dan membersihkan orang- orang yang
dholim didalamnya.
·
Bakkah[3]
bakkahu memiliki arti menyobek, menjauhkan, membalas kekejaman,
menghinakan dan merendahkan kesombongan orang yang sombong.
Terdapat pendapat tentang
maksud dari bakkah:
o
Tanah
di mana ka’bah berada di dalamnya.
o
Semua
daerah yang berada di baitullah, sedangkan mekah berada di belakangnya.
o
Masjidil
haram dan baitullah.
·
Ummul
qura[4]
Terdapat beberapa alasan kenapa mekkah mendapat nama tersebut ;
o
Mekkah
merupakan kota terlama
o
Merupakan
kiblat semua manusia
o
Merupakan
kota yang sangat agung.
Selain nama-nama di atas tentunya masih banyak lagi istilah-istilah
yang berbeda, yang tercantum dalam Al-Qur’an[5].
Penyebutan kota Mekkah dalam Al-Qur’an ini pula yang membuat kota tersebut menjadi pusat perdagangan
internasional walaupun menurut ahli sejarah menuturkan bahwa faktor yang
menjadikan Mekkah bukan karena hal tersebut[6],
akan tetapi bagi kami justru karena penyebutan itulah yang menjadikan faktor
utamanya.
B.
Adat Istiadat Jahiliah
Masyarakat Arab
sebelum termasuki oleh Islamisme, mereka terkenal dengan sebutan arab jahiliah.
Jahiliah sendiri merupakan suatu sifat yang diberikan bagi kaum yang tidak
mengetahui akan Tuhan, Rosul dan syariat-syariat-Nya[7].
Akan tetapi terdapat versi lain yang mengatakan bahwa jahiliah adalah mereka
yang tidak memiliki peradaban, norma, bodoh tidak mengenal akan aksara[8]
akan tetapi dari pengertian tersebut
jangan membuat kita berkesimpulan bahwa disaat itu mereka sama sekali
tidak mengenal menulis dan membaca. Karena diketahui bahwa sebagian sahabat
sebelum masuk Islam mereka sudah bisa membaca dan menulis, walaupun praktek
kegiatan tersebut belumlah menjadi tradisi, tidak dinilai sebagai sesuatu yang
penting tidak juga menjadi tolak ukur bagi mereka yang pandai atau cendekiawan.
Bahkan mereka terkenal akan kehebatannya dalam bidang syair, syair-syair
tersebut di perlombakan di pasar seni Ukaz, Majinnah,dan Zu
Majaz. Kemudian dari syair yang unggul akan di gantung di ka’bah. Istilah
penggantungan syair tersebut terkenal dengan al-mu’allaq al-sab’ah.
Melalui tradisi- tradisi tersebut diketahui bahwa peristiwa-peristiwa
besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada dan mengarahkan
perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa
penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti diapresiasikan dalam
sebuah kisah, dongeng, nasab, nyanyian, syair, dan sebagainya. Seorang
pujangga Arab Syiria, Jarji Zaidan, membagi masa jahiliyah kepada dua masa
yakni:
- Arab jahiliyyah pertama (al-arabul jahilliyatul ula)
yaitu zaman sebelum sejarah sampai abad lima masehi.
- Arab jahiliyah kedua (al-arabul jahiliyatus tsaniyah)
yaitu dari abad kelima masehi sampai lahir Islam.
Kalau kita perhatikan kembali, orang-orang Arab
dalam kedua zaman tersebut tidak semuanya bodoh. Seorang ahli sejarah Islam
terkenal Ahmad Amin mendefinisikan kata-kata “Arab Jahiliyah” yaitu orang-orang
Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran, mereka terus melawan
kebenaran, sekalipun mereka telah mengetahui bahwa itu benar[9].
Lanyaknya suatu
perkembangan kebudayaan suatu bangsa yang dipengerahui oleh adat kebiasaan,
adat kebiasaan yang memiliki nilai positif dan negative maka corak perkembangan
islam di masa Arab Jahiliah juga seperti itu, karena dari karakteristik mereka
yang bersifat positif itulah yang menjadikan penunjang perkembangan Islam dan
pendorong perkembangan masyarakat Arab. Walaupun tidak bisa di pungkiri lagi
bahwa dalam proses perkembangannya terdapat penghambat-penghambat yang
ditimbulkan oleh sifat- sifat negative mereka, hal tersebaut dikarenakan
kehidupan mereka yang sangat getir dan keras di gurun pasir, bentuk- bentuk
sifat negative yang mereka miliki pada saat itu antara lain;
·
Memanadang
rendah derajat seorang wanita dan Membunuh bayi-bayi perempuan[10]
Terjadinya
peperangan antar kabilah / suku sudah menjadi hal yang biasa pada waktu itu.
masing-masing kabilah lengkap dengan fanatisme primodial[11]
yang sudah mengakar kuat didalam jiwa para anggota. Mereka saling
berlomba-lomba untuk menunjukan mana yang lebih unggul disaat mengalahkan
kabilah-kabilah yang lain. Oleh karenanya, ketika mereka memiliki bayi
perempuan maka mereka akan berkeyakinan bahwa itu merupakan aib yang akan
merugikan kabilahnya, karena bayi tersebut kelak tidak mampu untuk ikut serta
dalam peperangan. Konsekuensinya bayi-bayi tersebut dibunuh dengan berbagai
cara salah satunya dengan mengubur secara hidup-hidup. Bahkan terdapat kabilah
yang melegitimasi tindakan nista tersebut.
·
Suka
minum khomr yang memabukan, Suka mencuri, berjudi, merampok dan menghalalkan
segala cara demi terwujudnya sebuah keinginan
Di masa itu
mereka tidak memiliki system dan norma yang ketat, yang bisa mengatur kehidupan
social baik antar individu maupun kelompok. Kalaupun ada, maka perundang-
undangan yang digunakan masih sebatas adat istiadat yang mereka ambil dari
pengalaman, serta pengaruh keyakinan yahudi. Selain itu tidak adanya hukuman
bagi mereka yang melanggar, mereka hanya terkena cacian atau sikap acuh yang
berlangsung hanya beberapa hari. Oleh sebabnya mereka melakukan tindakan
asusila seperti minum khomr, zina, perampokan dan pencurian.
Dari
keyakinan bahwa sebuah pengundian akan
mendatangkan keuntungan atau dapat merubah nasib mereka, maka mereka juga
memiliki kebiasaan mengundi nasib dalam pengambilan keputusan, bahkan di mata
mereka praktek perjudian memiliki nilai prestisius yang membangakan . mereka
yang melakukan kegiatan tersebut dianggap elit atau borjuis[12].
Praktek-praktek ini biasanya dilaksanakan secara kolosal[13],
terutama ketika terjadi musim kemarau
yang berkepanjangan atau musim paceklik melanda[14].
·
Menyembah
berhala
·
Suka
berperang, walaupun penyebabnya adalah perkara yang sepele.
Mereka memiliki
corak hidup berdasarkan kesukuan , yaitu satu kelompok yang terdiri dari
beberapa keluaraga yang kemudian membentuk suku atau kabilah. Mungkin yang
paling mencolok dari kabilah- kabilah tersebut adalah sifat kesetiaan serta
solidaritas yang tinggi yang dimiliki mereka. Karena sifat tersebutlah yang
menjadi sumber utama kekuatan bagi setiap kabilah, dengan contoh apabila salah
satu anggota mereka tersakiti tidak peduli apakah itu benar ataupun salah semua
keluarga mereka akan bergotong-royong / membela mati-matian kabilah tersebut,
karena mereka berkeyakinan bahwa harga diri kelompok atau suku merupakan hal paling prinsipil yang
harus dipertahankan.
C.
keyakinan Jahiliah
Sebelum Islam datang
ke Negeri Arab, orang arab sebenarnya sudah menyakini akan keesaan Allah
sebagai Tuhan, merupakan sebuah kepercayaan yang diwariskan oleh Ibrahim AS dan
Ismail AS. Kepercayaan tersebut terknal dengan agama Hanif[15],
hal tersebut sesuai dengan Al-Qur’an. Berkaitan dengan ayat yang terdapat dalam
al-qur’an, didalamnya menjelaskan bahwa mereka sebernanya menyakini akan
keesaan Allah swt, sebagai pencipta pengatur dan pemelihara alam semesta, jika
ditanayakan kepada mereka mengapa masih meyembah patung-patung berhala? maka mereka akan menjawab bahwa penyembahan
tersebut dilakukan guna untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Disamping itu
mereka juga masih menyampurnya dengan paham animisme dan dinamisme. Agama yang
meyimpang ini diistilahkan dengan agama Watsaniyah. Meskipun demikian
masih juga terdapat orang arab yang tidak terpengaruh dengan agama tersebut, mereka
adalah orang-orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Intinya mereka
sebenarnya tidak meninggalkan agama Hanif hanya saja mencampurinya
dengan agama Watsaniyah, contohnya mereka masih memuliakan kabah, akan
tetapi cara mereka mengelilingi kabah dengan telanjang. Selain itu ketika
mereka hendak melaksanakan tawaf terlebih dahulu mencium berhala yang terletak
disekitar ka’bah dan mengakhiri thawaf juga dengan melakukan hal yang sama.
Agama Watsaniyah
ini mengadakan peyembahan kepada anshāb[16],ashnām[17],
dan watsan[18].
Setiap kabilah memiliki patung yang yang dihormati. Konon patung-patung
tersebut disimpan didalam rumah guna untuk disimpan dan disembah pada
waktu-waktu tertentu. Disamping itu bentuk penjualan patungpun kemudian menjadi
lahan bisnis yang menjajikan, karena banyaknya keuntungan yang dapat dihasilkan
dari penjualan tersebut. Tingginya prosentaze omzet dari bisnis ini menjadikan
alasan kuat mengapa mereka tidak mau atau menolak akan ajaran Islam, mereka
berkeyakinan apabila akan menyembah hanya kepada Allah SWT maka akan menutup
peluang untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
Selain
kepercayaan terhadap patung-patung sembahan, sebagian bangsa arab juga terdapat
yang beragama Yahudi dan Nasrani. Agama Yahudi masuk ke Jazirah Arab jauh
sebelum Islam masuk. Agama ini telah berhasil mengembangakan kebudayaannya di
berbagai wilayah terutama Yatsrib dengan bentuk kebudayaan baru yang bercorak Yahudi.
Terdapat berbagai pendapat yang menyikapi tentang adanya agama Yahudi tersebut.
Apakah agama itu memang sudah ada di Jazirah Arab dan dipeluk oleh bangsa arab
langsung ataukah mereka yang memeluk memang benar-benar orang Yahudi ? dan apabila
mereka benar-benar orang Yahudi dari manakah mereka berasal apakah dari Palestina
atau dari Negara yang lain?. Menurut Yāqut penulis buku al-aghanni menuturkan
bahwa penyebaran agama Yahudi di Jazirah Arab berawal dari penyerangan yang
dilakukan oleh Bangsa Ramawi terhadap bani israil yang terdapat di Syam.
Setelah mereka berhasil mengalahkan Bani Israil, mereka menindas,
membunuh,serta menikahi gadis-gasisnya. Sehingga sebagian kabilah sepeti Bani
Nadlīr, Bani Quraidhah, dan Bani Bahdal merasa tidak betah tinggal di Syam,
oleh karenanya mereka pindah ke Hijaz. Dengan demikian merekalah penyebar
ajaran Yahudi pertama di Jazirah Arab.
Agama Nasrani yang
berkembang di Jazirah Arab terbagi dalam tiga aliran, dari tiga aliran tersebut
dua diantaranya memiliki pengikut dalam jumlah besar, yaitu Nasāthirah dan
Ya’āqibah. Aliran Ya’āqibah berkembang pesat di daerah Ghassān
dan sebagian kabilah-kabilah di Negeri Syam. Sedangkan Nasāthirah banyak
berkembang di Hairah. Dari banyaknya daerah-daerah di sepanjang Jazirah Arab di
daerah Najrān-lah yang dianggap paling terpengaruh serta disana juga dijadikan
pusat penyebaran agama Nasrani. Di tengah-tengah kota terseut terdapat bangunan
yang mirip dengan ka’bah yang diistilahkan dengan Ka’bah Najrān atau Bai’ah.
Sebelum Nasrani masuk ke Jazirah Arab, ka’bah ini dijadikan temapat ritual
haji. Hingga ketika agama Nasrani menguasai daerah ini bangunan itu dijadikan
sebagai pusat pengembangan ajaran Nasrani.
D.
Kaum Quraisy
Tidak bisa
dipungkiri bahwa kaum Quraish juga merupakan faktor penting terhadap
berkembangnya Islam, dikarenakan agen perubahan Muhammad SAW termasuk keturunan
Quraish. Semuanya dapat diketahui melalui sejarah kelahiran beliau (sejarah
nenek monyang Muhammad SAW). Ketika Ibrahim AS membawa istrinya-Hajar-dan
putranya –Imail AS-ke Mekkah dan ditinggal, ibu dan anak itu menetap di Mekkah
bersama dengan kabilah Jurhum dan Bani Qahthan. Dari kabilah inilah Ismail AS
belajar bahasa arab. Disana pula Ismail AS menikah dengan salah satu putri dari
kabilah jurhum. Pernikahan ismail sebenarnya berlangsung dua kali. Pernikahan
pertama gagal karena atas perintah ayahnya, kemudian dilanjutkan pernikahan
yang ke dua dan dikaruniai 12 anak. Dari merekalah lahir bani Ismailiyah yang
kemudian melahirkan ‘Adnaniyin (keturunan ‘Adnan, leluhur Muhammad SAW) dan
melahirkan suku Quraisy (keturunan Fihr Al-Quraisy, kakaek Muhammad SAW ke-12).
Klan (bani)
Ismailiyah ini merupakam klan yang berkuasa di Mekkah pada waktu itu, kekuasaan
tersebut berlangsung secara turun menurun. Akan tetapi ketika bendungan ma’rib
pecah, beberapa suku dan kabilah yang berada di Arabia selatan banyak yang
meninggalkan Mekkah. Pada
kesampatan inilah kabilah Khuza’ah[19]
memanfaatkannya, guna untuk menggeser kekuasan yang turun menurun.
Dua abad
sebelum Islam atau bertepatan dengan dengan abad ke-5 sorang suku Quraisy yang bernama Qushai[20]
berhasil merebut kekuasaan yang telah hilang berabad-abad. Dengan kembalinya
kekuasaan Mekkah ditangan Quraisy, segala macam urusan baik dibidang agama
ataupun pemerintahan ditangani oleh Qushai sebagai pemimpin suku Quraisy. Kepimimpinan yang diambil memberikan dampak
yang sangat bagi kota Mekkah, salah satunya terkenalnya
mereka sebagai pedagang ulung yang menguasai jalur perniagaan ke seluruh
penjuru Hijaz dengan Mesir, Yaman, Siria, Irak dan Persia, dan menguasai
perdagangan lokal[21].
Kepemimpinannya juga mendapatkan pengakuan dari kabilah-kabilah lain yang
berada di Arabia selatan, dengan berbagai alasan yang cukup realitas bahwa yang
berhak menduduki pemerintahan dan yang memegang kunci ka’bah adalah mereka yang
bersal dari keturunan Ismail AS. Dari
keturunan-keturunan Qushai inilah terlahir Ahmad atau Muhammad SAW, nabi serta
rosul terakhir yang telah tertulis di dalam Injil dan Taurat. Akan tetapi karena Beliau
keturunan Bani Hasyim, suku yang kurang berpengaruh di Mekah, sehingga banyak
hambatan-hambatan yang Beliau terima selama mengembangkan Islam di Mekah. Ada
beberapa faktor mengapa kaum kafir Quraisy menentang dakwah Muhammad SAW, antara
lain:
- Mereka tidak dapat membedakan
antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan
Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Yang
terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
·
Muhammad menyerukan persamaan hak antara
bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan
Quraisy.
- Para pemimpin Quraisy tidak
dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di
akhirat.
- Taklid kepada nenek moyang
adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
- Pemahat dan penjual patung
memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
E.
Penutup
Dari keterangan diatas kami meyimpulkan bahwa agama Hanif, Arab
dan Quraisy masing-masing memiliki peranan yang tidak dapat dipisahkan dalam
pembentukan sejarah Islam. Ketiganya
merupakan kesatuan yang membentuk sejarah peradaban Islam.
Islam
memberikan dasar-dasar terbentuknya tatanan kemasyarakatan yang merupakan salah
satu pilar terbentuknya. Islam juga memberikan petunjuk dalam bermasyarakat dan
bernegara. Islam juga mengubah cara pandang masyarakat Arab terhadap Tuhan,yang
awalnya mereka yakin akan Ada-Nya akan tetapi di campur dengan paham-paham lain
seperti dinamisme dan animism, atau masih adanya praktek peyembahan kepada
berhala sebagai perwujudan Tuhan, yang akhirnya dikenalkan dengan ajaran
tauhid.
Arab
dengan karakteristik wilayah dan masyarakatnya memberikan kontribusi yang tidak
sedikit dalam pembentukan sejarah peradaban Islam. Meskipun awalnya dikenal
sebagai bangsa jahiliyah namun akhirnya mampu memberikan konstribusi yang luar
biasa atas berkembangnya peradaban Islam.
Daftar Pustaka
Syaefudin Machfud, dkk, Dinamika Peradaban Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013).
Tim Karya Ilmiah Purnasiswa MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri’
Islam, (Kediri: KDT, 2006).
Al-Baijuri Ibrahim, Syarhul Matni Abi Syuja’, (Surabaya:
haramain, tt)
Tim Saluran Teologi Purna Siswa 2005 Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan,
refleksi Mengais Kebeningan Tauhid (Kediri : 2005).
Ismail Faisal, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984)
Al-Mahali
Jalaluddin dan Al-Suyuti Jalaluddin, Tafsir Jalalain, (Surabaya:
haramain, tt).
Abdul Ghani Muhammad Ilyas dan Al-Badr Abdul Muhsin, Keutmaan
Sejarah Kota Mekkah dan Madinah, (Surabaya : akbar : 2005).
Haikal Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (Ebook : Pustaka
Online , 2008)
[1]
Kerajaan ini apabila melihat
sifat
dan bentuknya maka ada dua macam, yaitu
Kerajaan yang berdaulat, tetapi tunduk kepada kerajaan lain (mendapat otonomi
dalam negeri). Dan Kerajaan tidak berdaulat, tetapi mempunyai kemerdekaan
penuh, ini lebih tepat disebut Induk Suku dengan kepala sukunya. Ia memiliki
apa yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan yang sebenarnya.
[2] QS. Al-Fath : 24
[3] QS. Ali Imron :
96
[4]
QS. Al-An’aam :
92 dan QS. Al-Syuraa : 7
[5] Muhammad Ilyas
Abdul Ghani dan Abdul Muhsin Al-Badr, Keutmaan Sejarah Kota Mekkah dan Madinah,
(Surabaya : akbar : 2005), 10-15.
[6] Posisinya yang
strategis yaitu menghubungkan antara utara : Syam, selatan : Yaman, barat : Mesir
dan Abbesenia, timur : Persia. Disamping itu juga karena kejelian Hasyim yang
tak lain adalah kakek Muhammad SAW.
[7] Al-Syaikh
Ibrohim Al-Baijuri, Hasyiah Al-‘Alāmah Al-Fadhil, (Surabaya : tt), juz
: 2
[10] Dilakukan
sudah sejak nenek monyang karena mereka takut akan mendatangkan aib bagi
keluarga dan takut kelaparan.
[12]
Masyarakat dari
kalangan atas.
[13] Kegiatan yang
dilakukan secara besar-besaran.
[14] Tim Saluran
Teologi Purna Siswa 2005 Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan, refleksi Mengais
Kebeningan Tauhid (Kediri : 2005), 25-29.
[15] Agama yang
lurus
[16] Berhala tanpa
bentuk yang terbuat dari batu karang
[17] Berhala dengan
bentuk manusia yang terbuat dari logam ataupun kayu.
[18] Hampir sama
dengan ashnām, hanya saja terbuat dari batu
[19]
Dipimpin oleh Al-Harits
Ibnu Amir
[20] Kakek nabi
yang ke-5
[21] karena peran
Ka’bah sebagai pusat pertemuan kabilah-kabilah Arab.
0 komentar:
Posting Komentar