Ketika Atmosfer Sakit akibat Pemanasan Global
“Selimut”, kata ini
bisa mewakili fungsi atmosfer bila dilihat dari beberapa segi. Selimut
mempertahankan kehangatan untuk tubuh sekaligus menahan desiran udara dingin
dari sisi luar. Demikian pula dengan beberapa fungsi atmosfer bumi yang
tersusun dari berbagai macam gas. Gas-gas rumah kaca (greenhouse gases)
berfungsi mempertahankan temperatur di permukaan bumi pada tingkat yang sesuai
untuk kehidupan sedangkan gas ozon di lapisan stratosfer berfungsi menapis
sinar Ultra Violet B & C yang dipancarkan matahari. Selain kedua fungsi
tersebut, atmosfer kita masih memiliki beberapa fungsi lain, diantaranya:
membakar meteor yang memasuki wilayah atmosfer bumi ・sehingga bumi tidak
menjadi sasaran empuk bombardir meteor, menyediakan oksigen untuk pernafasan
makhluk hidup, menyediakan karbon dioksida untuk keperluan tumbuhan, hingga
memunculkan fenomena pelangi yang dikagumi. Aliran udara melewati sayap pesawat
terbang menghasilkan gaya angkat pada pesawat ・fakta keberadaan atmosfer
memungkinkan dilakukannya transportasi super cepat melalui udara.
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya keberadaan
atmosfer bagi kehidupan makhluk di bumi. Namun demikian, salah satu masalah
kontemporer utama abad ini adalah sakitnya atmosfer kita. Dua penyakit akut
yang melanda atmosfer kita adalah penipisan lapisan ozon (atau lebih dikenal
dengan sebutan ozone hole) dan pemanasan global.
Lubang ozon
Lapisan ozon yang melindungi makhluk di bumi dari sengatan
sinar Ultra Violet B & C yang berbahaya. Konsentrasi ozon tertinggi terdapat
di lapisan stratosfer yang berjarak 25 – 30 km. Lapisan ozon berada dalam
situasi kritis manakala konsentrasinya turun di bawah 220 Dobson Unit (DU).
Hipotesis mengenai rusaknya lapisan ozon akibat gas chlorofluoromethane (atau
dikenal juga dengan nama chlorofluorocarbon = CFC) pertama kali disampaikan
oleh Rowland dan Molina pada tahun 1974 di Jurnal Nature. Verifikasi kerusakan
lapisan ozon ini mencapai puncaknya pada tahun 1985 manakala Farman dan
kawan-kawan mempublikasikan hasil pengukuran yang menunjukkan rendahnya
konsentrasi ozon di atas antartika di jurnal yang sama. Istilah ozone hole
berkembang sejak saat itu.
Sinar Ultra Violet B & C merupakan gelombang
elektromagnetik dengan panjang gelombang yang pendek (yakni antara 200 – 280
nano meter untuk UV C; dan 280 – 320 nano meter untuk UV B). Panjang gelombang
sinar Ultra Violet yang pendek tersebut berkorelasi dengan tingginya energi
yang dibawa sinar ini. Para ahli kesehatan mengungkapkan bahwa manusia yang
terpapar sinar Ultra Violet B & C dengan intensitas yang tinggi bisa
terkena penyakit kanker kulit, katarak mata, hingga penurunan sistem kekebalan
tubuh. Sinar ini juga akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Intensitas radiasi
sinar Ultra Violet B & C juga bisa membunuh plankton yang merupakan
santapan ikan ・kurangnya plankton akan berkorelasi langsung dengan
keberlangsungan hidup ikan.
Menyadari bahaya kerusakan lapisan ozon, berbagai negara
kemudian bersepakat dalam Konvensi Wina (1985) yang selanjutnya menghasilkan
Protokol Montreal (1987) untuk mengurangi emisi gas-gas yang berpotensi merusak
lapisan ozon. Dua gas utama yang merusak lapisan ozon adalah gas chlorine yang
utamanya berasal dari senyawa CFC dan gas bromine yang utamanya berasal dari
senyawa methyl bromide dan halon. Pemerintah Indonesia telah turut meratifikasi
Konvensi Wina dan Protokol Montreal berikut amandemen-amandemennya melalui
beberapa Keputusan Presiden.
Sementara itu, sejak diketemukannya fenomena penipisan
lapisan ozon, luas daerah yang memiliki konsentrasi ozon kurang dari 220 DU
terus membesar. Untuk Tahun 2004, NASA melaporkan bahwa lubang ozon di atas
kutub selatan telah mencapai 28 juta km2, yang berarti lebih dari dua kali
lipat luas antartika itu sendiri (atau lebih besar dari daratan Amerika Utara).
Jika hal ini tidak segera ditanggulangi, tidak tertutup kemungkinan bahwa
lubang ozon ini bisa menjadi malapetaka global bagi kehidupan di muka bumi.
CFC pada umumnya digunakan di sektor pendingin (refrigerasi),
busa, pelarut/pembersih (solvent), dan zat pendorong (propellant) seperti pada
parfum. Saat ini, pengguna CFC terbesar adalah pada sektor refrigerasi. CFC,
seperti R-12 atau Freon 12, masih banyak digunakan pada pendingin udara (AC)
kendaraan dan chiller (mesin pendingin udara pada gedung). CFC jenis R-11 juga
masih banyak digunakan pada chiller. Masyarakat bisa berperan besar dalam
program perlindungan lapisan ozon ini dengan menggunakan produk-produk yang
tidak menggunakan CFC. Di Indonesia, pemerintah akan menghentikan import CFC
pada akhir tahun 2007. Karena tidak ada satu pun industri yang menghasilkan CFC
di tanah air, maka penghentian import CFC akan menyebabkan kelangkaan CFC di
dalam negeri. Hal ini perlu segera diantisipasi oleh para pengguna CFC; antara
lain dengan menggunakan bahan-bahan non-CFC dan berbagai teknologi yang tidak
menggunakan CFC.
Pemanasan Global
Sinar matahari yang berhasil menerobos atmosfer (setelah
sebagiannya langsung dipantulkan oleh atmosfer ke angkasa) sebagian akan
dipantulkan oleh permukaan bumi ke atmosfer dan sebagiannya lagi akan diserap
oleh permukaan bumi. Terserapnya sinar matahari tersebut akan memanaskan
permukaan bumi dan menyebabkan permukaan tersebut mampu memancarkan energi ke
atmosfer (berupa sinar infra merah yang memiliki panjang gelombang relatif besar,
sekitar 5 ・20 mikro meter). Keberadaan Gas Rumah Kaca (GRK) menyebabkan tidak
semua sinar infra merah yang dipancarkan bumi bisa lolos ke angkasa; sebagian
besar sinar tersebut diserap oleh GRK dan selanjutnya dipancarkan kembali ke
permukaan bumi. Proses tersebut berulang dan menyebabkan kenaikan temperatur
bumi. Gas Rumah Kaca (GRK) pada dasarnya berfungsi menjaga temperatur bumi pada
tingkat yang seusai untuk kebutuhan makhluk hidup. Ketiadaan, atau kurangnya,
GRK akan menyebabkan temperatur di permukaan sebuah planet akan sangat rendah
(seperti permukaan Mars yang memiliki temperatur rata-rata -50oC); namun
terlalu banyak GRK juga akan menyebabkan kenaikan temperatur (seperti permukaan
Venus yang temperatur rata-ratanya 420oC). Syukur kepada Allah swt bahwa
kecukupan GRK di bumi menyebabkan temperatur rata-rata bumi berada pada kisaran
yang sesuai untuk kehidupan, yakni sekitar 15oC (Hamilton, CJ.)
Selimut yang terlalu tebal dan rapat menyebabkan
ketidaknyamanan. Lonjakan jumlah GRK di atmosfer bumi tidak saja menimbulkan
ketidaknyamanan, namun berpotensi menyebabkan bencana global. Dalam Konvensi
PBB tentang Perubahan Iklim, beberapa jenis gas telah diidentifikasi sebagai
GRK, yakni karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4),
sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs), dan hidrofluorokarbon
(HFCs). Ditinjau dari konsentrasinya, GRK yang dominan adalah CO2, N2O, dan
CH4. CO2 umumnya dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (batubara, BBM,
dan gas) di berbagai sektor (industri, transportasi, dan rumah tangga).
Kebakaran hutan juga menyumbang produksi CO2 yang sangat besar. CH4 umumnya
dihasilkan dari timbunan sampah, perubahan tata guna lahan dan kehutanan,
pertanian, dan sektor energi. Sedangkan N2O umumnya dihasilkan dari sektor pertanian
(pemanfaatan pupuk dan praktek pertanian).
Pemanasan global telah menyebabkan temperatur rata-rata bumi
saat ini mengalami kenaikan hingga sebesar 2oC dibandingkan dengan tahun 1880
(US National Climate Data Center, 2001). Mayoritas ilmuwan saat ini telah
bersepakat bahwa pemanasan global tersebut diakibatkan emisi GRK yang
dihasilkan dari kegiatan manusia (antropogenik). Efek langsung pemanasan global
yang bisa dideteksi secara jelas oleh para ilmuwan adalah mencairnya es di
kutub-kutub bumi. Melelehnya es ini akan berdampak langsung terhadap ketinggian
muka air laut, kehidupan biota laut, dan bisa mempengaruhi arus laut yang
selama ini berfungsi sebagai heat engine untuk daratan Eropa.
Indonesia sebagai negara berkembang yang terletak di
khatulistiwa, memiliki resiko yang besar akibat pemanasan global. Secara umum,
kemampuan ekonomi dan teknologi di negara berkembang belumlah siap menghadapi
perubahan yang diakibatkan oleh pemanasan global. Menurut IPCC (Inter
Governmental Panel on Climate Change), pada tahun 2030 bisa terjadi kenaikan
permukaan air laut sebesar 8 ・29 cm dibandingkan dengan muka air laut saat ini.
Bila hal ini terjadi, maka dikhawatirkan Indonesia bisa kehilangan sekitar 2000
pulau-pulau kecil yang secara langsung berdampak pada pengurangan luas wilayah
Indonesia (Meiviana dkk., 2004). Peningkatan temperatur permukaan bumi juga
dikhawatirkan akan menyebabkan pertanian di negara-negara di sekitar
khatulistiwa akan terganggu; dikarenakan terjadinya pergeseran temperatur dari
kondisi yang sudah optimal saat ini (Mendelsohn dkk., 2006).
Karena pemanasan global terjadi di lapisan troposfer (lapisan
atmosfer terdekat dengan kehidupan manusia; tempat terjadinya berbagai fenomena
cuaca), maka tidak bisa dipungkiri bahwa pemanasan global juga akan menyebabkan
perubahan iklim (climate change). Diprediksikan bahwa perubahan iklim bisa
menyebabkan musim kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang semakin
pendek periodenya namun dengan peningkatan intensitas curah hujan (Meiviana
dkk., 2004). Kedua hal tersebut: musim kemarau yang berkepanjangan serta
tingginya curah hujan, sudah dirasakan masyarakat di tanah air. Kemarau panjang
menyebabkan kegagalan pertanian dan kekurangan air bersih yang akut di berbagai
tempat. Tingginya curah hujan menimbulkan bencana banjir di mana-mana. Beberapa
ilmuwan juga mencoba menghubungkan perubahan iklim dengan semakin tingginya
frekuensi dan intensitas badai (hurricane) yang terjadi di berbagai wilayah di
bumi, utamanya belahan utara dan selatan bumi.
Beberapa masalah kesehatan, seperti penyakit malaria dan
demam berdarah, juga ditengarai mengalami peningkatan akibat perubahan iklim
(Meiviana dkk., 2004). Kenaikan temperatur bisa menyebabkan lebih singkatnya
periode pertumbungan nyamuk yang selanjutnya berperan dalam peningkatan wabah
malaria dan demam berdarah.
Melihat bahaya yang bisa ditimbulkannya, sudah sepantasnya
bila warga bumi bersegera melakukan berbagai daya upaya agar gangguan terhadap
iklim yang dipicu oleh pemanasan global tidak semakin parah. Berbagai anomali
cuaca bisa saja terjadi bila perubahan iklim semakin menjadi. Anomali tersebut
menyebabkan manusia akan semakin sulit melakukan prediksi terhadap cuaca, yang
selanjutnya akan mempengaruhi dunia penerbangan, kelautan, hingga transportasi
darat.
Karena GRK didominasi oleh CO2 yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, miyak bumi, dan gas alam, maka
masyarakat bisa berperan serta dengan melakukan berbagai penghematan; baik
penghematan energi ataupun penghematan penggunaan barang-barang (karena pada
dasarnya produksi berbagai barang juga memerlukan suplai energi). Peran
pemerintah sangat diperlukan dalam melakukan berbagai regulasi di sektor
industri, transportasi, dan rumah tangga untuk menjamin terjadinya pengurangan
emisi CO2. Sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, seperti
energi matahari, angin, biofuel, geothermal, biogas, dsb., perlu secepatnya
digali dan diimplementasikan.
Kita berharap agar bumi kita yang hanya satu ini masih mampu
menampung generasi-generasi manusia di masa mendatang. Oleh karena itulah,
merupakan tugas kita bersama untuk menyembuhkan atmosfer kita yang sedang
sakit.
0 komentar:
Posting Komentar